

Prof. Widodo memberikan sambutan juga pemaparan terkait urgensi transisi energi yang berdampak pada Negara Indonesia.
Pada topik terkait transisi energi dan tantangan pengurangan emisi karbon di Indonesia. Pembicara menjelaskan rencana pengembangan energi nuklir yang diproyeksikan beroperasi pada tahun 2040 dengan kapasitas 5 gigawatt, meskipun menghadapi tantangan persepsi masyarakat terkait keamanan. Ia menekankan pentingnya transisi energi untuk daya saing ekonomi, mengingat banyak perusahaan asing mensyaratkan sumber energi terbarukan dalam produksi.
Pembicara juga membahas pajak karbon sebagai mekanisme untuk mendorong pengurangan emisi, dengan tarif 30.000 rupiah per ton CO2, serta menggarisbawahi bahwa Indonesia tertinggal dalam pengembangan energi terbarukan dibandingkan negara lain. Menurutnya, langkah-langkah konkret seperti percepatan pembangkitan listrik berdistribusi dan adopsi teknologi rendah karbon sangat diperlukan untuk mencapai target emisi nol bersih dan menarik investasi asing.

Dari kiri ke kanan – Sesi penyerahan cinderamata oleh
Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D.Med.Sc. (Rektor UB) kepada Dr. Eddy Soeparno, S.H., M.M. (Wakil Ketua MPR RI).

Sesi penyerahan penghargaan oleh
Dr. Eddy Soeparno, S.H., M.M. (Wakil Ketua MPR RI) kepada Perwakilan Mahasiswa UB.

Sesi foto bersama oleh Rektor UB, Wakil Ketua MPR RI, dan Jajaran Pimpinan Universitas brawijaya.
Prof. Widodo memberikan sambutan juga pemaparan terkait urgensi transisi energi yang berdampak pada Negara Indonesia.
Acara kunjungan ini mempunyai topik terkait transisi energi dan tantangan pengurangan emisi karbon di Indonesia. Pembicara menjelaskan rencana pengembangan energi nuklir yang diproyeksikan beroperasi pada tahun 2040 dengan kapasitas 5 gigawatt, meskipun akan menghadapi tantangan persepsi masyarakat terkait keamanan.

Sesi penyerahan penghargaan oleh Dr. Eddy Soeparno, S.H., M.M. (Wakil Ketua Menteri MPR RI) kepada Perwakilan Mahasiswa UB.
Ia menekankan pentingnya transisi energi untuk daya saing ekonomi, mengingat akan banyaknya perusahaan asing mensyaratkan sumber energi terbarukan dalam produksi.
Pembicara juga turut membahas mengenai pajak karbon sebagai mekanisme untuk mendorong pengurangan emisi, dengan tarif berkisar 30.000 rupiah per ton CO2, serta menggarisbawahi bahwa Indonesia tertinggal dalam pengembangan energi terbarukan dibandingkan negara lain.
Menurutnya, langkah-langkah konkret seperti percepatan pembangkitan listrik berdistribusi dan adopsi teknologi rendah karbon sangat diperlukan untuk mencapai target emisi nol bersih dan menarik investasi asing.